Kota Hantu di Tiongkok, Bagaiman Kabarnya?
Kota Hantu ini tidak berkaitan dengan hantu difilm horor.
Melainkan kota yang karena satu dan lain hal hampir tidak berpenghuni atau
bahkan tidak berpenghuni sama sekali. Maaf untuk penggemar film horror yang
terlanjur klik.
Getty Images |
Lebih dari sekitar sepuluh tahun yang lalu, Tiongkok mulai
menciptakan kota-kota modern yang sama sekali baru. Ini awalnya direncanakan untuk
mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk akibat urbanisasi.
Awalnya mereka hanya membangun beberapa kota modern baru yang
ternyata sukses besar. Banyak orang berebut membeli properti sampai ludes
seperti kacang goreng.
Kesuksesan ini membuat Tiongkok dengan semangat membuat lagi
kota modern baru, tapi masih dengan jumlah terbatas. Juga berhasil. Mulai dari
investor kelas ikan teri seperti ibu rumah tangga sampai investor kelas ikan
paus berebut untuk membeli properti.
Lalu diputuskan, untuk tidak membuat hanya satu dua kota baru, tapi RATUSAN kota baru, tidak hanya di Tiongkok, tapi juga diseluruh dunia, terutama di Asia dan Afrika.
Kota yang dibangun bukanlah sekedar perumahan kecil-kecilan
dengan rukonya, tapi Mega Metropolitan, dengan ribuan unit perumahan,
apartemen, bangunan kantor pencakar langit. Lengkap dengan beberapa supermall
yang super luas, taman hiburan, ruko, dan pasar.
Disekitarnya juga akan dibangun berbagai industri, sehingga
penghuni diasumsikan merupakan pegawai dari industri tersebut.
Dalam kota ini sudah diperhitungkan bahwa setiap penghuninya
akan menggunakan mobil, karenanya dibangun jalan-jalan yang super lebar, tempat
parkir yang luas, dihiasi pepohonan yang rimbun. Dihubungkan dengan
infrastruktur jalan toll antar kota, kereta api, bahkan ada yang dibangunkan
bandara sekalian.
Karena ini Tiongkok, maka semua harus menyetujui keputusan
itu. Lahan-lahan disikat, digilas untuk dijadikan tempat membangun kota baru. Ini
dimungkinkan oleh peraturan yang menyatakan bahwa semua tanah di Tiongkok
adalah milik pemerintah dan seluruh rakyat hanya mendapatkan hak guna bangunan
selama sekitar 70 tahun
Bagi yang ngotot menolak akan dimatikan semua jalur
infrastruktur kesana. Rumah-rumah akan dimatikan saluran air, listrik dan jalannya.
Rumah-rumah ibadah, taman taman budaya, semua digilas habis. Lahan-lahan sawah
akan dimatikan irigasinya. Sungai, danau, gunung, bukit akan diurug dan
ditimbun untuk menempatkan kota ini sesuai dengan desain awal.
Tidak perlu ada lagi studi kelayakan. Cukup menyontek dari yang sudah berhasil. Tinggal melipat gandakan keberhasilan yang sudah pernah dicapai.
Tapi apa yang terjadi?
Ternyata setelah seluruh bangunan selesai Kota-kota yang
mewah itu tidak kunjung juga ditempati. Sekarang hampir satu dekade berlalu,
puluhan kota kosong melompong. Bagaikan Kota Hantu.
Kenapa orang tidak juga kunjung menempati Kota tersebut?
1. Tidak ada studi kelayakan yang cukup.
Pembangunan yang terburu-buru mengejar target, sama sekali tidak
melalui penelitian yang cukup. Tidak ada diskusi baik dengan rakyat setempat maupun
dengan rakyat yang di proyeksikan akan menempati kota tersebut. Pokoknya bangun
saja sebanyak-banyaknya. Letakkan pabrik disana. Pasti orang akan datang kan?
Ternyata tidak.
Begitu cepatnya pembangunan Kota tersebut sampai para
arsitek dan desainer yang didatangkan dari seluruh penjuru dunia ternganga.
Karena begitu mereka menggambar, langsung besoknya dibangun dilapangan.
Bahkan ada satu hotel 30 lantai, dibangun hanya dalam waktu
2 minggu!!
2. Persaingan antar kota
Membangun kota baru berarti meningkatkan GDP (nilai produksi
kotor pertahun) pemda setempat secara drastis naik. Dan ini akan meningkatkan
reputasi kepala daerah dimata rakyat dan partai. Dengan demikian para kepala
daerah berlomba-lomba memberikan izin pembangunan, sehingga jumlah pembangunan
jadi jauh melebihi kebutuhan.
3. Harga
bangunan yang terlalu mahal
Proyeksi bahwa para pekerja industri akan tinggal disana ternyata
meleset karena harga rumah dan apartemen jauh lebih tinggi daripada gaji yang
mereka dapatkan. Termasuk biaya perawatan (service maintenance) dan biaya
penunjang hidup yang mahal sekali.
Misalnya diproyeksikan akan ada 1000 orang yang akan bekerja
di pabrik A, lalu disediakan rumah dari berbagai kelas untuk 1000 orang. Tapi
ternyata 900 orang diantaranya hanyalah buruh yang tidak akan sanggup membeli
rumah baru, akhirnya tetap saja tidak terbeli.
Bahkan sekedar menyewa pun mereka banyak yang tidak sanggup.
Terlalu mahal.
Misalnya suatu daerah dibangunkan kota karena ada pertambangan
besar, seperti tambang batubara disana. Karena satu dan lain hal, tambangnya
ternyata ‘mati’ karena permintaan batu bara dunia menurun, sehingga industrinya
terpaksa ditutup. Orang tidak mungkin tinggal dikota tersebut ‘kan?
Atau pabrik yang direncanakan dibangun, ternyata batal
karena adanya perang dagang sehingga lokasi pembangunan dipindah ke negara
lain.
Kegagalan suatu kota mestinya ketahuan sebelum kota yang
dibangun terlalu banyak ‘kan? Tapi ternyata tidak. Ini karena sistem
investasinya yang saling menutupi kesalahan sampai terlalu besar untuk
ditanggung.
Misalnya ada dua kota yang gagal, lalu kota ini tetap
dibiayai oleh investasi 5 kota berikutnya. Sehingga laporannya bersih.
Wilayah-wilayah hunian ‘dibeli’ secara mencicil menggunakan investasi 5 kota
itu. Meski kenyataannya hampir tidak ada yang menempati. Mereka melaporkan
bahwa pembeli adalah investor, bukan penghuni.
Uang ini juga digunakan untuk mengelola kota, sehingga seolah
‘hidup’ penuh dengan lampu-lampu yang cemerlang. Untuk membayar tenaga
perawatan bangunan. Dengan demikian seolah dua kota pertama tidaklah gagal.
Orang semakin bersemangat untuk investasi.
Dan 5 kota yang gagal ini pun kemudian dibiayai dengan cara
yang sama oleh kota-kota berikutnya. Terutama kota-kota di luar Tiongkok
6. Daerah jangkauan pembangunan sangat luas
Tiongkok itu luar biasa luas. Lima kali lebih besar daripada
Indonesia. Ditambah aturan sensor yang super ketat sehingga kepala tidak tahu dimana
kaki. Orang aceh saja tidak tahu apa yang terjadi di Papua, apalagi kalau 5x
lipat lebih jauh dari itu!
Belum lagi pembangunan yang dilakukan Tiongkok di seluruh
dunia, orang tidak tahu apakah benar berhasil atau tidak. Karena jika ada
investor, tentu hanya ditunjukkan kota yang berhasil dan pembukuan yang
kelihatan sangat bersih.
7. Kemajuan Internet
Urbanisasi besar-besaran yang diperkirakan akan datang
ternyata batal dilakukan karena banyak pekerjaan sekarang banyak yang bisa
dilakukan lewat internet. Orang memilih tinggal di pedesaan yang asri, dengan
lingkungan budaya yang lebih bersahabat ketimbang kota besar yang dingin dan individualis.
Harga-harga pun jauh lebih murah didesa, sehingga dengan
uang yang mereka dapatkan, mereka tidak perlu tinggal di apartemen yang sumpek,
dengan biaya hidup yang tinggi. Bahkan sekolah anak pun dipedesaan bisa
bersaing selama mereka bisa mendapatkan akses pendidikan tambahan lewat
internet.
Jika mereka sekali-kali ingin ke mall, infrastruktur sudah
cukup baik dan cepat sehingga beberapa jam saja mereka bisa sampai ke kota
terdekat.
Apa yang dilakukan
Tiongkok untuk mengisi kota tersebut?
Berbagai hal mulai dari yang bersih terang benderang sampai
yang agak kotor-kotor kusam dicoba dilakukan oleh pemerintah Tiongkok agar
kota-kota ini bisa teri
Menciptakan lapangan pekerjaan
Pabrik-pabrik dibangun disekitar kota baru tersebut, termasuk juga kantor-kantor yang dipaksakan pindah. Tapi pada akhirnya tetap saja tidak semua bisa pindah, apalagi mereka yang sudah memiliki ikatan dengan daerah asal mereka.
Sekalipun mereka datang untuk bekerja, mereka paling-paling
hanya akan menyewa saja. Tidak enak tinggal didaerah yang sama sekali baru,
betapapun mewahnya jika dibandingkan dengan kampung halaman yang mungkin malah
cukup makmur meski tidak terlalu keren.
Memberikan subsidi
Tiongkok adalah negara yang cukup ketat dengan aturan
pembelian rumah. Untuk rumah pertama minimal DP nya adalah 30% dan untuk rumah
ke dua 60%. Sehingga butuh uang yang sangat besar untuk bisa membeli rumah.
Subsidi akan sangat menolong KALAU dari awal harga rumahnya
memang terjangkau sesuai kantong. Tapi jika terlalu mahal, subsidi sekalipun
tidak dapat banyak menolong.
Yang penting orang datang untuk memenuhi lingkungan dulu,
meski tidak akan mampu membeli. Dengan demikian perumahan terlihat seolah
penuh. Investor senang, orang-orang pun berdatangan untuk membeli.
Ini adalah solusi sementara, karena bagaimanapun pada
akhirnya biaya investasi yang luar biasa besar harus kembali melalui pembelian
unit hunian atau harga sewa yang tinggi.
Menciptakan lingkungan masyarakat baru
Tidak hanya bangunan fisik, mereka juga membentuk tim-tim
yang seolah menjadi ‘panitia’ penyambutan. Mereka adalah berperan sebagai ‘manager’
lingkungan tapi hidup sebagai penghuni juga. Mengadakan berbagai aktivitas yang
biasanya ada dilingkungan yang sudah jadi.
Misalnya ada acara olah raga bersama, festival, bahkan sekedar
kumpul-kumpul. Sehingga pendatang baru menjadi betah dan tidak ragu mengundang
penghuni baru kedalam kota tersebut.
Cara ini hanya berhasil jika sudah cukup banyak penduduk
yang tinggal dikota itu. Jika tidak, maka akan sia-sia saja. Mau menyambut
siapa kalau tidak ada yang datang?
Menghancurkan tempat tinggal dan bisnis lama
Dengan berbagai alasan mereka yang masih tinggal di daerah
lama kemudian digusur, untuk lalu dipindah ke kota-kota ini.
Tapi bahkan pemerintah otoriter komunis Tiongkok pun tidak
bisa sepenuhnya memaksa orang untuk pindah, bisa-bisa terjadi pemberontakan. Ini
terutama untuk suku-suku minoritas dan jauh dari Beijing. Mereka punya hak khusus
yang berbeda dengan rakyat biasa.
Apalagi jika kebutuhan calon penghuni tidak nyambung dengan
desain kotanya. Misalnya orang di gurun gobi pun belum tentu mau pindah ke kota
mewah karena mereka lebih suka tinggal dialam liar yang terbuka.
Demikian juga industri akan perlahan-lahan dihancurkan,
sehingga orang akan kehilangan pekerjaan dan terpaksa bekerja di industri
disekitar Kota baru. Tentu ini cara yang salah, dan orang bisa saja membangun
bisnis baru ditempat yang sama.
Ini adalah langkah yang cukup mengejutkan dari pemerintah
Tiongkok, yang dulu sangat ketat terhadap kepemilikan properti. Akan tetapi
langkah putus asa ini pun harus dilakukan ketimbang membiarkan Kota Hantu terjadi.
Tetapi dengan segala cara diatas (mungkin lebih dari itu
karena pengetahuan saya yang terbatas) bahkan setelah lebih dari 10 tahun
berlalu, hampir sekitar 50 kota baru di Tiongkok masih menjadi kota hantu yang
sepi, menunggu keruntuhan.
Sebetulnya ini bisa saja dihindari jika pembangunan tidak
dilakukan secara terburu-buru, melainkan terlebih dahulu melalui perencanaan
yang matang. Juga jangan sekaligus langsung banyak dan besar, semata untuk
memompa GDP.
Kota harus lah mempunyai akar yang kuat, sehingga bisa sustainable, hidup dan menghidupi.
Dimasa lalu membangun kota-kota dianggap meningkatkan
ekonomi Tiongkok, akan tetapi dimasa depan tidak saja bisa menghancurkan
ekonomi Tiongkok, tapi juga bisa menyeret semua negara dimana Tiongkok juga
berperan.
Mari kita nantikan langkah selanjutnya dari Pemerintahan
Tiongkok untuk bisa keluar dari masalah ini.
Komentar
Posting Komentar